Istilah gender
yang digunakan, khususnya oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita
adalah “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki
dan perempuan”. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam Webster’s
New World Dictionary (1984), gender diartikan sebagai “perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku”. Dalam Women’s Studies Encyclopedia (Vol I:153) diartikan
sebagai “suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal
peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.
Definisi yang
dikemukakan Peter R.Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994) mengartikan
gender sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan
laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan
budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun universal. Berdasarkan
karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan perempuan yang
pantas. Akibatnya timbul asosiasi, bahwa dunia publik bersifat maskulin dan
pantas untuk pria, dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminin
adalah milik perempuan .
Dari beberapa
definisi tersebut tampak bahwa gender bukanlah hal yang kondrati tapi hasil
konstruksi sosial dan budaya, dan manifestasinya di setiap masyarakat bisa saja
berbeda. Perbedaan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidak
adilan sebagai berikut ini:
1. Marginalisasi. Ini terjadi di tempat kerja, rumah
tangga, masyarakat atau kultur, bahkan negara. Sumber marginalisasi bisa
berasal dari kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan .
2. Subordinansi. Ini berkaitan dengan anggapan bahwa
perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan dianggap tidak bisa
tampil memimpin. Dalam keluarga yang terbatas secara ekonomi, masih ada yang
memutuskan anak laki-laki mendapat prioritas utama untuk disekolahkan.
Akibatnya, kondisi ini memunculkan sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting.
3. Stereotipe, berkaitan dengan pelabelan terhadap
kelompok tertentu. Misalnya, pelabelan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan
bersolek untuk menarik perhatian lawan jenis, sehingga setiap ada kasus
pelecehan maupun kekerasan, selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika
ada perkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan
korbannya. Masyarakat beranggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani
suami.
4. Tindak Kekerasan terhadap fisik maupun integritas
mental seseorang. Bentuk yang bisa dikategorikan kekerasan gender antara lain :
(a) pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan; (b)
tindakan pemukulan dan serangan fisik; (c) penyiksaan yang mengarah pada organ
alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap anak perempuan; (d) pelacuran,
merupakan bentuk kekerasan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi
yang merugikan perempuan; (e) pornografi, yang termasuk kekerasan non fisik,
yakni pelecehan terhadap kaum perempuan, di mana tubuh perempuan dijadikan
obyek demi keuntungan seseorang atau sekelompok orang; (f) pemaksaan
sterilisasi dalam program Keluarga Berencana; (g) kekerasan terselubung (molestation),
yakni memengang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh; (h) pelecehan seksual (sexual and emotional
harassment) yang bisa dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, yakni:
menyampaikan lelucon jorok dan vulgar, menyakiti atau membuat malu seseorang
dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan
seksualnya atau kehidupan pribadinya; meminta imbalan seksual dalam rangka
janji untuk mendapatkan kerja atau promosi lainnya. Dilihat dari situsnya,
kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan domestik dan kekerasan publik.
Kekerasan domestik terdiri dari tiga jenis, yaitu : intimate violence,
private violence dan family violence. Kekerasan publik meliputi
segala bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual yang dilakukan di
tempat-tempat publik. Dalam masyarakat modern, bentuk-bentuk kekerasannya lebih
kompleks, tidak saja bersifat fisik tetapi juga psikologis. Tidak juga hanya
bersifat seksual personal, tetapi juga struktural, misalnya pelecehan seksual,
pelacuran dan pornografi.
5. Beban Kerja. Pekerjaan domestik rumah tangga
dianggap lebih cocok bagi perempuan, dinilai lebih rendah dan dikategorikan
bukan produktif dibandingkan dengan pekerjaan lelaki yang berada di wilayah
publik sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi. Keadaan menjadi
berat bila perempuan juga bekerja di wilayah publik karena mereka memikul beban
kerja ganda. Di pihak lain, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural
untuk menekuni berbagai pekerjaan domestik sehingga mereka hanya mempunyau
beban tunggal.
II.2 Pelanggaran Kesusilaan
Dalam KUHP,
kejahatan kesusilaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan itu antara lain
mencakup pornografi, perbuatan cabul, perkosaan, pelacuran, perdagangan wanita,
aborsi, maupun penggunaan anak di bawah umur untuk pekerjaan berbahaya. Bila dikaitkan
dengan permasalahan gender, pelanggaran kesusilaan erat kaitannya dengan tindak
kekerasan fisik maupun integritas mental seseorang dan cenderung merupakan kekerasan
publik.
Kasus-kasus
tindak kekerasan tersebut , dari tahun ke tahun semakin berkembang kuantitas
maupun kualitasnya. Pada awal tahun 70 an, pornografi masih sebatas gambar-gambar
perempuan dalam majalah-majalah hiburan dengan menggunakan pakaian renang.
Buku-buku ataupun gambar-gambar pornografi beredar secara sembunyi-sembunyi
sehingga untuk memperolehnya cukup sulit. Pelacuran terkonsentrasi di
tempat-tempat tertentu dan seringkali terselubung, kasus-kasus perkosaan
terjadi antar orang yang sudah dewasa, aborsi dan perdagangan wanita masih
sangat terselubung sehingga sulit untuk menditeksinya.
Kini, pornografi
sudah menjadi makanan sehari-hari yang mudah didapat kapan saja dan oleh siapa
saja. Mulai dari majalah, novel maupun tabloid kuning yang dijajakan di pinggir
jalan, film-film biru, telepon sex (party-line), hingga situs porno di
internet, dengan mudah dapat diperoleh. Pelacuran bahkan ditawarkan melalui
iklan-iklan media cetak seperti layaknya barang dagangan. Perbuatan cabul dan
perkosaan dilakukan tidak hanya pada orang dewasa tapi juga pada anak-anak di
bawah usia 10 tahun dan dilakukan oleh orang-orang yang sudah dikenal dekat
bahkan di antara anggota keluarga.Beberapa kasus perkosaan berakhir dengan
pembunuhan. Aborsi sudah bukan “barang aneh” lagi. Perdagangan wanita dewasa
maupun anak-anak untuk tujuan pelacuran dilakukan hingga ke mancanegara, bahkan
di beberapa daerah diduga dibantu keluarganya, oknum aparat pemerintah setempat
maupun oknum aparat kepolisian. Kehidupan seks di kota metropolitan bahkan
menawarkan gaya hidup baru, seperti tukar pasangan, nudies party, dan
lain-lain.
Fenomena lain
yang sering menjadi pembicaraan di kalangan para Pekerja Seks Komersial (PSK)
atau anak-anak jalanan perempuan yang terkena sweeping, yaitu perilaku
aparat kepolisian yang “memanfaatkan” kondisi mereka saat ditahan di sel
Polisi. Perbuatan cabul, pornografi, penghinaan hingga perkosaan dan bahkan
perampasan uang yang mereka bawa saat itu, sudah seringkali terjadi. Penindakan
terhadap kasus-kasus tersebut memang dilakukan, namun tampaknya masih bersifat
temporer sehingga dampaknya hanya sesaat. Misalnya, tindakan sweeping terhadap
para pedagang majalah, tabloid, CD porno dan sejenisnya tidak disertai tindak lanjut
konkrit yang dapat mengeliminasi permasalahan. Setelah beberapa waktu berlalu, para
pedagang muncul kembali menjajakan barang dagangannya tanpa rasa bersalah sehingga
ada kesan pengabaian terhadap norma masyarakat dan agama menjadi sesuatu hal
yang biasa.
II.3 Peran Media Massa
Media massa saat
ini merupakan media dalam menyampaikan informasi perubahan kepada masyarakat
sehingga bisa dikatakan sebagai alat konstruksi sosial yang paling ampuh.
Permasalahannya, pesan yang dibawa media massa tidak saja bersifat positif namun
juga bersifat negatif, bahkan kadang-kadang pesan positif dimodifikasi hingga menjadi
negatif. Dalam kaitannya dengan permasalahan gender, media massa sebenarnya merupakan
alat strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak kekerasan
pada perempuan karena memiliki hegemoni untuk membangun opini publik. Namun, di
sisi lain, media massa juga ternyata menjadi alat strategis untuk mengembangkan
bahkan melestarikan tindak kekerasan pada perempuan. Paling sedikit ada lima
rubrik atau acara dalam media elektronik (radio dan televisi) serta media cetak
yang turut mengembangkan dan melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Pertama, penayangan iklan baik di media elektronik maupun
media cetak yang menempatkan perempuan secara stereotipe dan subordinan. Dalam
banyak iklan, stereotipe perempuan digambarkan secara bebas. Perempuan harus
tampil menawan, awet muda, pandai mengurus semua keperluan rumah tangga dan
anggota keluarga, tampil prima untuk menyenangkan suami dan sebagai obyek seks,
dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas serta menjadi sumber pengetahuan
dan moral keluarga. Dalam pencitraan ini, perempuan tidak sekedar dilihat
sebagai obyek, namun juga sebagai subyek pergulatan perempuan dalam menempatkan
dirinya dalam realitas sosial, walaupun tidak jarang mereka lupa telah
dieksploitasi dalam dunia hiper-realitas (pseudo-reality), yaitu sebuah
dunia yang hanya ada dalam media, dunia realitas yang dikonstruksi oleh media
massa.
Kedua, berita di media massa umumnya memberitakan ruang
publik laki-laki, mulai dari persoalan negara, militer, olah raga, politik dan
wacana laki-laki. Pemberitaan publik perempuan lebih ke arah persoalan
domestik, seperti keterampilan rumah tangga, pengasuhan anak, kosmetika dan
kecantikan. Tapi persoalan menjadi “seru” ketika pemberitaan menyangkut masalah
erotisme yang diwujudkan dalam bentuk tulisan maupun gambar. Judul-judul
bombastis yang sensual namun penuh kekerasan seksual kerap menghiasi halaman
koran, majalah maupun tayangan televisi. Misalnya “terenggut kegadisannya”,
“menodai”, “menggagahi” “minta dilayani” sebagai pengganti kata diperkosa.
Kata-kata ini memberi kesan perempuan yang diperkosa itu “kotor”, obyek seks.
Sementara laki-laki yang memperkosa tetap “bersih”, malahan “gagah” dan berada pada
posisi yang lebih tinggi karena bisa menundukkan perempuan dan dilayani hasrat seksualnya.
Penelitian Bungin (2003) pada tahun 1995 dan 2002 menunjukkan hampir semua
media massa pernah menggunakan erotisme sebagai salah satu pemberitaan mereka.
Untuk meningkatkan tirasnya, tidak jarang pemberitaan media massa menggunakan
perempuan sebagai salah satu obyek eksploitasi yang memiliki resiko paling ringan.
Dikatakan paling ringan karena kontrol sosial yang semakin menurun, sementara pemerintah
tidak berbuat banyak karena kesulitan untuk menegakkan piranti hukum. Padahal,
ini bukan saja persoalan eksploitasi perempuan, namun merupakan persoalan yang
lebih besar lagi yaitu tindakan pengabaian norma dan moral agama serta
masyarakat. Pemberitaan media massa juga turut mengembangkan tindak kekerasan
pada perempuan, ketika memberitakan kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan
seksual, seperti perkosaan, perselingkuhan, pelacuran, perdagangan wanita.
Untuk memuaskan keingintahuan publik, tidak jarang media massa mengupas secara
detail identitas para korban bahkan lengkap dengan alamat tempat tinggalnya,
ditayangkan secara visual,
diwawancarai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
mengingatkan korban terhadap peristiwa yang pernah dialaminya namun tak ingin
diingatnya lagi. Tak pelak, wartawan maupun warga masyarakat yang menaruh
simpati berbondong-bondong mendatangi rumah korban tanpa memperhatikan kondisi
korban yang masih trauma atau tertekan dengan peristiwa yang dialaminya, maupun
kondisi keluarga korban yang malu dengan aib yang menimpa anggota keluarganya.
Dalam hal ini, korban akhirnya menderita tindak kekerasan ganda, yaitu dari
pelaku maupun dari media massa.
Ketiga, film yang ditayangkan televisi maupun ceritera
pendek dan ceritera bersambung serta kisah nyata yang dimuat di media cetak,
tidak jarang menonjolkan erotisme secara vulgar. Tidak jarang film tersebut
ditayangkan saat anak-anak masih belum tidur. Misalnya film-film India,
film-film barat atau film komedi yang dibumbui seks seperti film-film serial
Dono-Kasino yang hingga kini masih ditayangkan stasiun televisi swasta pada
siang, sore atau malam hari di bawah jam 21.00. Simak pula tabloid, majalah maupun
koran harian yang memuat gambar-gambar sensual, dengan mudah dapat dibeli dari
penjual koran di pinggir jalan.
Keempat, rubrik konsultasi seks dan sejenisnya di media cetak
dan radio serta televisi, serta acara “jelajah malam” yang mengangkat kehidupan
malam Jakarta,dan ditayangkan oleh beberapa stasiun swasta . Di satu sisi,
penyampaian acara ini memiliki nilai positif sebagai sumber informasi bagi
masyarakat agar tidak terjebak dalam persoalan seperti itu atau sebagai
referensi ketika mengalami persoalan yang sama. Namun, di sisi lain rubrik atau
acara ini digemari karena banyak persoalan seks yang dapat “dinikmati” pembaca
maupun pemirsa daripada dijadikan pelajaran. Banyaknya penggemar rubrik atau
acara tersebut mendorong pengasuh rubrik atau acara lepas kontrol sehingga
pemilihan kasus tidak selektif lagi. Persoalan akan semakin melebar karena
media massa, terutama media cetak yang dapat dibaca berulang-ulang oleh
berbagai kelompok umur.
Kelima, acara hiburan yang banyak menonjolkan unsur erotisme
dengan penggunaan model baju yang serba terbuka dan lenggak lenggok yang
terkesan “mengundang” hasrat seksual, ditemukan hampir di seluruh media
televisi. Dari uraian di atas tampak bahwa melalui berbagai tayangan tindak
kekerasan di media massa, dapat terbangun opini publik tentang efek “positif”
dari tindak kekerasan perempuan terhadap kepuasan pemirsanya atau pembacanya.
Hasil penelitian Bungin (2001) menunjukkan bahwa “ada pengaruh antara variabel
media massa dan peer group terhadap sikap seks di kalangan remaja
perkotaan. Media massa elektronik lebih besar pengaruhnya dari pengaruh media
cetak dan peer group”. Riset yang dimuat dalam jurnal Pediatrics di
Amerika menyebtkan “kekerasan dalam media (media violence) dapat mengantar
anak untuk bersikap agresif dan anti sosial, walaupun di sisi lain mampu meningkatkan
rasa kecemasan mereka terhadap kekerasan dan imaji aqkan menjadi korban
kekerasan”. Orang tua memang dapat berperan untuk meminimalisir dampak buruk terhadap
anak-naka, namun tanpa regulasi yang jelas dari pemerintah terhadap media, pada
akhirnya orang tua harus menanggung dampak ini, sementara media sendiri seolah-olah
tidak peduli akan dampak yang ditimbulkannya. Dengan menyiarkan tayangan-tayangan
seperti sekarang ini secara terus menerus tidak salah bila dikatakan media
massa turut berperan dalam melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
II.4 Pasal-Pasal RUU KUHP
yang Kurang Sensitif Gender
Pasal-pasal
dalam RUU KUHP yang mengatur tentang Tindak Pidana Kesusilaan memang bersifat lex
generalis. Karena sifatnya itu maka RUU KUHP harus mampu melindungi
berbagai kepentingan setiap warga negara. Namun , kenyataannya masih ada pasal-pasal
yang kurang jelas sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang keliru dan memunculkan
ketidakadilan gender, terutama ketidakadilan bagi kaum perempuan. Pasal-pasal
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada pasal yang menjelaskan atau
mendefinisikan istilah kesusilaan atau menunjukkan indikator kesusilaan secara
eksplisit . Padahal ini sangat diperlukan untuk memahami pasal-pasal berikutnya
yang memuat tentang pelanggaran kesusilaan. Ini juga diperlukan untuk kepastian
hukum mengingat masyarakat Indonesia masih cenderung patriarkhi yang seringkali
menempatkan perempuan pada kedudukan tidak adil. Misalnya, pandangan stereotipe
menganggap “perempuan bersolek adalah untuk memancing lawan jenisnya” (Faqih,
1996), sehingga bila ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual, selalu
dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada kasus perkosaan, masyarakat
cenderung
menyalahkan per mpuan karena dialah yang dianggap
penyebab pertama terjadinya perkos an, padahl menurut Irianto (dalam Luhulima,
2000) 90 % atau lebih korban kekerasan adalah perempuan dan 70 % di antara
perempuan yang diperkosa tidak menggunakan rok mini.
2. Pasal 423 ayat (2) yang menyatakan tindak pidana
perkosaan terjadi bila : (a) laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus
atau mulut perempuan, atau ; (b) laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan
merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. Ini mengandung
arti bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak termasuk dalam kriteria
ini bukanlah perkosaan. Dalam kenyataannya, perilaku seksual saat ini sudah
semakin bervariasi, tanpa harus memasukkan benda atau alat kelamin ke dalam
mulut atau anus perempuan pun aktivitas seksual yang identik dengan perkosaan,
dapat dilakukan. Apalagi bila rumusan perkosaan ini dibandingkan dengan rumusan
perkosaan di negara lain seperti yang dikemukakan dalam Black’s Law
Dictionary (dalam Luhulima,
2000) yaitu “ ….. unlawful sexual intercourse with
a female without her consent. The unlawful carnal knowledge of a woman by a man
forcibly and againts her will. The act of sexual intercourse comitted by a man
with a woman not his wife and without her consent, committed when the woman’s resistance
is overcome by force or fear, or under prohibitive conditions….. “
3. Pasal 433 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang
menggerakkan, membawa, menempatkan atau menyerahkan laki-laki di bawah
18 tahun atau perempuan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan
cabul, pelacuran atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, dipidana
karena perdagangan laki-laki dan perempuan, dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori V”. Selanjutnya
Pasal 433 ayat (2) berbunyi “Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan menjanjikan
perempuan tersebut memperoleh pekerjaan tetapi
ternyata diserahkan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan cabul,
pelacuran atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, maka pembuat tidak
pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.
Keberatan terhadap pasal ini adalah sebagai berikut :
- Ayat ke (1) dan ke (2) tidak mempidana si pelaku
bila orang yang dibawa dan diserahkannya pada orang lain itu tidak bekerja
sebagai pelacur atau perbuatan melanggar kesusilaan, padahal dalam kenyataannya
kasus trafficking tidak selalu diserahkan untuk pekerjaan yang melanggar
kesusilaan, banyak juga yang diserahkan misalnya untuk dijadikan
pembantu rumah tangga, pelayan toko, diadopsi sebaga
anak, dijual organ tubuhnya dan lain-lain.
- Ayat (2), tidak hanya terjadi pada perempuan namun
juga pada laki-laki walaupun jumlah kasusnya lebih kecil daripada jumlah kasus
perempuan.
4. Pasal 416, 417 dan 418 mempidana orang yang secara
terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk mencegah kehamilan,
menawarkan tanpa diminta atau menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan
untuk memperoleh alat pencegah kehamilan dan alat untuk menggugurkan kandungan,
kecuali bila dilakukan dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan
pencegahan penyakit menular. Pasal ini membatasi hak perempuan untuk menjaga
kesehatan reproduksinya atau menjaga kesehatan dirinya, karena alat pencegah
kehamilan atau alat pengguguran kandungan bisa digunakan juga ketika perempuan mengalami
penyakit yang tidak menular dan tidak bermaksud melaksanakan keluarga
berencana.
5. Pasal 412 Ayat (1) mempidana setiap orang yang :
(a) menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan, gambar atau benda
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, yang isinya melanggar kesusilaan; (b) membuat atau mempunyai
persediaan tulisan, gambar atau benda dengan maksud untuk disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan sehingga terlihat oleh umum atau membuat atau
mempunyai rekaman dengan maksud untuk diperdengarkan sehingga terdengar oleh
umum, yang isinya melanggar kesusilaan; (c) secara terang-terangan atau dengan
kehendak sendiri mengedarkan, menawarkan atau menunjukkan untuk dapat
memperoleh tulisan, gambar, benda atau rekaman yang isinya melanggar
kesusilaan. Keberatan terhadap pasal ini menyangkut :
- Hanya disinggung rekaman yang dapat diperdengarkan
(audio) dan tidak disinggung rekaman audio visual , contohnya compact disk (CD),
yang saat ini dapat diperoleh dengan mudah dan murah.
- Obyek yang disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan hanya tulisan, gambar dan benda. Dalam kenyataannya pelanggaran
kesusilaan dilakukan juga melalui pertunjukkan hiburan langsung dengan manusia
sebagai obyek pertunjukkannya.
- Kecuali memperdengarkan rekaman, semua aktivitas
yang dinyatakan dalam pasal ini seolah-olah hanya aktivitas yang dilaksanakan
langsung di depan umum, atau dengan kata lain tidak secara eksplisit dinyatakan
bahwa tulisan, gambar atau benda itu dapat diperlihatkan kepada umum melalui
bantuan media massa, misalnya koran, radio, televisi maupun internet Kenyataan
saat ini menunjukkan pelanggaran kesusilaan yang lakukan melalui media massa
sudah menjadi pemandangan biasa dan dapat diakses kapan saja di mana saja dan
oleh siapa saja, hingga ke tempat-tempat terpencil sekali pun.
Kejelasan
terhadap aspek-aspek tersebut diperlukan mengingat akibat dari semua ini yang
sangat dirugikan terutama adalah perempuan. Agar memiliki nilai jual tinggi, biasanya
stereotipe perempuan dianggap tepat untuk melakukan aktivitas tersebut, atas persetujuannya
atau tanpa persetujuannya . Rekayasa untuk mengubah muka seseorang dalam gambar
atau rekaman CD maupun internet, saat ini mudah dilakukan, sehingga tanpa orang
tersebut melakukan pun dapat terjebak hingga dianggap sebagai pelaku.
II.5 Usulan Pemisahan
Upaya untuk
mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan secara menyeluruh berarti harus
melakukan perubahan sosial karena dalam hal ini diperlukan adanya perubahan
persepsi masyarakat yang masih menganut budaya patriarkhi, terhadap keberadaan
perempuan. Tentunya ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Untuk itu, diperlukan
beberapa upaya terobosan yang dapat menggugah perubahan persepsi masyarakat.
Upaya tersebut antara lain melalui peraturan perundangan yang dapat memberikan
perlindungan khusus terhadap perempuan korban tindak kekerasan. Saat ini memang
sudah dimiliki Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun ini tidak cukup
karena masih banyak tindak kekerasan lain yang juga memerlukan perhatian
khusus. Tindak kekerasan yang dimaksud adalah perkosaan, eksploitasi perempuan
melalui media massa.
Disamping itu,
kedua Undang-Undang inipun masih bisa mengundang munculnya permasalahan baru
yang berkaitan dengan penerapannya. Oleh karena itu, Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang baru dimiliki Indonesia pada
beberapa bulan terakhir pun, perlu dimonitor penegakannya mengingat beberapa
alasan sebagai berikut :
- Perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual
mencakup wilayah yang luas dan rumit serta menyangkut pula jaringan antar propinsi,
antar pulau dan antar negara . Dalam perdagangan antar negara, hingga saat ini
Indonesia cenderung menjadi negara asal pengirim. Kerumitan ini disebabkan
posisi perempuan yang rentan, faktor kemiskinan, dan pelaku trafficking adalah
orang-orang terdekat korban, seperti : paman, bibi, tetangga, lurah, bahkan
suami atau pacar. Di beberapa daerah, aparat pemerintah daerah serta aparat
keamanan turut sebagai pendukung pelaku trafficking.
- Sebuah laporan pemerintah Amerika menyebutkan bahwa
Indonesia sempat menduduki peringkat Tier 3. Negara yang menempati peringkat
ini dianggap kurang melakukan tindakan-tindakan serius untuk melawan
perdagangan manusia, padahal korban sudah berjatuhan di mana-mana. Korban
terbanyak adalah perempuan dan anak-anak.
- Kasus trafficking berbeda dengan kasus-kasus
lainnya. Banyak orang mengira setelah korban diselamatkan dari pelaku trafficking
masalah sudah selesai. Padahal justru saat itulah awal permasalahan baru
bermunculan. Proses alienasi yang mereka alami selama penyekapan sama
saja dengan proses dehumanisasi yang membuat mereka merasa bukan manusia lagi
karena ada yang harus dimatikan dalam dirinya demi bertahan hidup secara fisik.
Dampak psikologis yang dialami adalah proses “penghancuran diri” atau disempowerment.
Oleh karena itulah rata-rata mereka mengalami trauma yang mendalam dan dendam
pada orang-orang yang telah menjualnya. Belum lagi yang mengalami kerusakan
fisik akibat penganiayaan atau kerusakan fungsi reproduksi serta Penyakit
Menular Seksual (PMS). Di sisi lain, masyarakat juga masih menganggap korban
sebagai pelaku tindak pelanggar moral. Sama halnya dengan perkosaan, dampak trafficking
juga akan menjadi beban korban selama hidupnya.
- Upaya pemulihan dan pemberdayaan menjadi masalah
pelik karena sangat sedikit institusi yang memahami hal ini dan referensi yang
tersedia amat sedikit Tindak kekerasan yang dimaksud adalah perkosaan,
eksploitasi perempuan melalui media massa.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut, diusulkan beberapa usulan pemecahan sbagai berikut:
Pertama, melengkapi atau menambah kejelasan pasal-pasal yang
kurang sensitif gender, yaitu :
- Perlu disusun definisi atau batasan atau indikator
tentang kesusilaan serta tindak pidana kesusilaan.
- Pasal 423 ayat (2) perlu diperjelas karena bisa
menimbulkan kontroversi; pasal 433 ayat (1) dan (2) perlu dilengkapi; Pasal
416,417 dan 418 perlu diperjelas, dan Pasal 412 ayat (1) perlu dilengkapi
Kedua, usulan untuk membuat Undang-Undang Anti Perkosaan dan Undang-Undang
Undang Penghapusan Eksploitasi Perempuan Melalui Media Massa. Alasan diusulkan
tiga permasalahan ini didasarkan pada cakupan wilayah, jumlah korban
serta keluasan dan kedalaman dampak yang ditimbulkan oleh masalah itu.
Undang-Undang
Anti Perkosaan perlu
dibuat secara khusus mengingat jumlah dan variasi pelaku maupun korbannya sudah
semakin berkembang. Trauma akibat perkosaan akan selalu membayangi korban
sepanjang hidupnya. Saat diperkosa korban sudah mendapat tekanan secara fisik
maupun psikologis. Ketika menghadapi pemeriksaan polisi yang kerap melontarkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat melecehkan, pemeriksaan jaksa dan saat
menghadapi hakim di pengadilan, tekanan ini terus membuntuti . Ditambah lagi
dengan kedatangan wartawan yang ingin mengorek kejadian perkosaan dengan
melontarkan pertanyaan bertubi-tubi, pemberitaan di media massa yang kerap amat
vulgar serta menonjolkan aspek seksualnya , dirasakan korban sebagai “perkosaan
kedua” karena mereka dipaksa untuk mengingat kejadian yang ingin mereka lupakan.
Belum lagi bila korban dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kehamilan, tentunya
merupakan persoalan tersendiri yang memerlukan dampingan khusus. Masalah lainnya
lagi adalah tentang kemampuan korban untuk menghadapi kehidupan di masa datang.
Tekanan lain yang tak kalah penting adalah tekanan
sosial. Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat seringkali menyalahkan korban
perkosaan dan menganggap perempuan itu sendiri sebenarnya yang menyebabkan
dirinya diperkosa. Kondisi ini diperparah dengan sistem hukum yang belum mampu
memberi perlindungan terhadap korban. Misalnya, dalam KUHAP korban tidak
disebutkan haknya untuk memperoleh pendampingan, hak untuk memperoleh
kompensasi karena kemungkinan korban menjadi hamil dan terganggu kehidupan masa
depannya.
Undang-Undang
Penghapusan Eksploitasi Perempuan Melalui Media Massa. Perlunya Undang- undang ini dibuat mengingat
perempuan sangat rentan menjadi obyek eksploitasi media massa. Alasan- alasan
yang mendasarinya adalah sebagai berikut :
- Undang-Undang Penyiaran yang sudah ada saat ini
masih bersifat umum dan masih belum bisa diterapkan secara optimal. Contohnya,
dalam Pasal 36 ayat (6) secara eksplisit dinyatakan bahwa “isi siaran dilarang
memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama,
martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan Internasional”. Namun
kenyataannya perempuan kerap menjadi obyek eksploitasi media massa.
Kecenderungan media massa memasukkan unsur erotisme dalam pemberitaannya,
menurut Bungin (2003) berdasarkan alasan sebagai berikut : (1) ketika media
telah kehilangan idealisme, (2) ketika media merasa tirasnya terancam menurun,
(3) ketika media massa perlu bersaing dengan sesama media, (4) ketika media
baru sedang memposisikan dirinya di masyarakat, (5) ketika masyarakat membutuhkan
pemberitaan erotisme.Selama kepentingan ini masih ada dan persepsi tentang
stereotipe perempuan dalam iklim budaya patriarkhi masih mengakar, eksploitasi
terhadap perempuan melalui media massa akan tetap berlangsung.
- Media massa memiliki dua sisi yang berlawanan, yaitu
sebagai alat strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak
kekerasan pada perempuan, sekaligus juga menjadi alat strategis untuk
mengembangkan bahkan melestarikan tindak kekerasan pada perempuan. Ini
dikarenakan media massa memiliki hegemoni untuk membangun opini publik sehingga
apapun yang disampaikan media massa dianggap sebagai kebenaran. Secara
eksplisit kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi seperti tertera pada Pasal
4 Undang-Undang Penyiaran, yaitu “ sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Sementara itu, media massa juga bisa
dinikmati oleh semua usia, apalagi media cetak yang bisa dibaca berulangkali
dan bisa diakses oleh masyarakat di daerah terpencil sekali pun. Tak pelak lagi
media massa mampu menjadi alat transformasi budaya yang ampuh untuk melestarikan
tindak kekerasan pada perempuan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar