Minggu, 01 Juli 2012

GENDER


Istilah gender yang digunakan, khususnya oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita adalah “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Dalam Webster’s New World Dictionary (1984), gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Dalam Women’s Studies Encyclopedia (Vol I:153) diartikan sebagai “suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.

Definisi yang dikemukakan Peter R.Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994) mengartikan gender sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi, bahwa dunia publik bersifat maskulin dan pantas untuk pria, dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminin adalah milik perempuan .

Dari beberapa definisi tersebut tampak bahwa gender bukanlah hal yang kondrati tapi hasil konstruksi sosial dan budaya, dan manifestasinya di setiap masyarakat bisa saja berbeda. Perbedaan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidak adilan sebagai berikut ini:

1. Marginalisasi. Ini terjadi di tempat kerja, rumah tangga, masyarakat atau kultur, bahkan negara. Sumber marginalisasi bisa berasal dari kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan .

2. Subordinansi. Ini berkaitan dengan anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan dianggap tidak bisa tampil memimpin. Dalam keluarga yang terbatas secara ekonomi, masih ada yang memutuskan anak laki-laki mendapat prioritas utama untuk disekolahkan. Akibatnya, kondisi ini memunculkan sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

3. Stereotipe, berkaitan dengan pelabelan terhadap kelompok tertentu. Misalnya, pelabelan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek untuk menarik perhatian lawan jenis, sehingga setiap ada kasus pelecehan maupun kekerasan, selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada perkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya. Masyarakat beranggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami.

4. Tindak Kekerasan terhadap fisik maupun integritas mental seseorang. Bentuk yang bisa dikategorikan kekerasan gender antara lain : (a) pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan; (b) tindakan pemukulan dan serangan fisik; (c) penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap anak perempuan; (d) pelacuran, merupakan bentuk kekerasan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan; (e) pornografi, yang termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan, di mana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang atau sekelompok orang; (f) pemaksaan sterilisasi dalam program Keluarga Berencana; (g) kekerasan terselubung (molestation), yakni memengang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik tubuh; (h) pelecehan seksual (sexual and emotional harassment) yang bisa dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, yakni: menyampaikan lelucon jorok dan vulgar, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya; meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi lainnya. Dilihat dari situsnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan domestik dan kekerasan publik. Kekerasan domestik terdiri dari tiga jenis, yaitu : intimate violence, private violence dan family violence. Kekerasan publik meliputi segala bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual yang dilakukan di tempat-tempat publik. Dalam masyarakat modern, bentuk-bentuk kekerasannya lebih kompleks, tidak saja bersifat fisik tetapi juga psikologis. Tidak juga hanya bersifat seksual personal, tetapi juga struktural, misalnya pelecehan seksual, pelacuran dan pornografi.

5. Beban Kerja. Pekerjaan domestik rumah tangga dianggap lebih cocok bagi perempuan, dinilai lebih rendah dan dikategorikan bukan produktif dibandingkan dengan pekerjaan lelaki yang berada di wilayah publik sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi. Keadaan menjadi berat bila perempuan juga bekerja di wilayah publik karena mereka memikul beban kerja ganda. Di pihak lain, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai pekerjaan domestik sehingga mereka hanya mempunyau beban tunggal.


II.2 Pelanggaran Kesusilaan

Dalam KUHP, kejahatan kesusilaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan itu antara lain mencakup pornografi, perbuatan cabul, perkosaan, pelacuran, perdagangan wanita, aborsi, maupun penggunaan anak di bawah umur untuk pekerjaan berbahaya. Bila dikaitkan dengan permasalahan gender, pelanggaran kesusilaan erat kaitannya dengan tindak kekerasan fisik maupun integritas mental seseorang dan cenderung merupakan kekerasan publik.

Kasus-kasus tindak kekerasan tersebut , dari tahun ke tahun semakin berkembang kuantitas maupun kualitasnya. Pada awal tahun 70 an, pornografi masih sebatas gambar-gambar perempuan dalam majalah-majalah hiburan dengan menggunakan pakaian renang. Buku-buku ataupun gambar-gambar pornografi beredar secara sembunyi-sembunyi sehingga untuk memperolehnya cukup sulit. Pelacuran terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu dan seringkali terselubung, kasus-kasus perkosaan terjadi antar orang yang sudah dewasa, aborsi dan perdagangan wanita masih sangat terselubung sehingga sulit untuk menditeksinya.

Kini, pornografi sudah menjadi makanan sehari-hari yang mudah didapat kapan saja dan oleh siapa saja. Mulai dari majalah, novel maupun tabloid kuning yang dijajakan di pinggir jalan, film-film biru, telepon sex (party-line), hingga situs porno di internet, dengan mudah dapat diperoleh. Pelacuran bahkan ditawarkan melalui iklan-iklan media cetak seperti layaknya barang dagangan. Perbuatan cabul dan perkosaan dilakukan tidak hanya pada orang dewasa tapi juga pada anak-anak di bawah usia 10 tahun dan dilakukan oleh orang-orang yang sudah dikenal dekat bahkan di antara anggota keluarga.Beberapa kasus perkosaan berakhir dengan pembunuhan. Aborsi sudah bukan “barang aneh” lagi. Perdagangan wanita dewasa maupun anak-anak untuk tujuan pelacuran dilakukan hingga ke mancanegara, bahkan di beberapa daerah diduga dibantu keluarganya, oknum aparat pemerintah setempat maupun oknum aparat kepolisian. Kehidupan seks di kota metropolitan bahkan menawarkan gaya hidup baru, seperti tukar pasangan, nudies party, dan lain-lain.


Fenomena lain yang sering menjadi pembicaraan di kalangan para Pekerja Seks Komersial (PSK) atau anak-anak jalanan perempuan yang terkena sweeping, yaitu perilaku aparat kepolisian yang “memanfaatkan” kondisi mereka saat ditahan di sel Polisi. Perbuatan cabul, pornografi, penghinaan hingga perkosaan dan bahkan perampasan uang yang mereka bawa saat itu, sudah seringkali terjadi. Penindakan terhadap kasus-kasus tersebut memang dilakukan, namun tampaknya masih bersifat temporer sehingga dampaknya hanya sesaat. Misalnya, tindakan sweeping terhadap para pedagang majalah, tabloid, CD porno dan sejenisnya tidak disertai tindak lanjut konkrit yang dapat mengeliminasi permasalahan. Setelah beberapa waktu berlalu, para pedagang muncul kembali menjajakan barang dagangannya tanpa rasa bersalah sehingga ada kesan pengabaian terhadap norma masyarakat dan agama menjadi sesuatu hal yang biasa.

II.3 Peran Media Massa

Media massa saat ini merupakan media dalam menyampaikan informasi perubahan kepada masyarakat sehingga bisa dikatakan sebagai alat konstruksi sosial yang paling ampuh. Permasalahannya, pesan yang dibawa media massa tidak saja bersifat positif namun juga bersifat negatif, bahkan kadang-kadang pesan positif dimodifikasi hingga menjadi negatif. Dalam kaitannya dengan permasalahan gender, media massa sebenarnya merupakan alat strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak kekerasan pada perempuan karena memiliki hegemoni untuk membangun opini publik. Namun, di sisi lain, media massa juga ternyata menjadi alat strategis untuk mengembangkan bahkan melestarikan tindak kekerasan pada perempuan. Paling sedikit ada lima rubrik atau acara dalam media elektronik (radio dan televisi) serta media cetak yang turut mengembangkan dan melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Pertama, penayangan iklan baik di media elektronik maupun media cetak yang menempatkan perempuan secara stereotipe dan subordinan. Dalam banyak iklan, stereotipe perempuan digambarkan secara bebas. Perempuan harus tampil menawan, awet muda, pandai mengurus semua keperluan rumah tangga dan anggota keluarga, tampil prima untuk menyenangkan suami dan sebagai obyek seks, dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas serta menjadi sumber pengetahuan dan moral keluarga. Dalam pencitraan ini, perempuan tidak sekedar dilihat sebagai obyek, namun juga sebagai subyek pergulatan perempuan dalam menempatkan dirinya dalam realitas sosial, walaupun tidak jarang mereka lupa telah dieksploitasi dalam dunia hiper-realitas (pseudo-reality), yaitu sebuah dunia yang hanya ada dalam media, dunia realitas yang dikonstruksi oleh media massa.

Kedua, berita di media massa umumnya memberitakan ruang publik laki-laki, mulai dari persoalan negara, militer, olah raga, politik dan wacana laki-laki. Pemberitaan publik perempuan lebih ke arah persoalan domestik, seperti keterampilan rumah tangga, pengasuhan anak, kosmetika dan kecantikan. Tapi persoalan menjadi “seru” ketika pemberitaan menyangkut masalah erotisme yang diwujudkan dalam bentuk tulisan maupun gambar. Judul-judul bombastis yang sensual namun penuh kekerasan seksual kerap menghiasi halaman koran, majalah maupun tayangan televisi. Misalnya “terenggut kegadisannya”, “menodai”, “menggagahi” “minta dilayani” sebagai pengganti kata diperkosa. Kata-kata ini memberi kesan perempuan yang diperkosa itu “kotor”, obyek seks. Sementara laki-laki yang memperkosa tetap “bersih”, malahan “gagah” dan berada pada posisi yang lebih tinggi karena bisa menundukkan perempuan dan dilayani hasrat seksualnya. Penelitian Bungin (2003) pada tahun 1995 dan 2002 menunjukkan hampir semua media massa pernah menggunakan erotisme sebagai salah satu pemberitaan mereka. Untuk meningkatkan tirasnya, tidak jarang pemberitaan media massa menggunakan perempuan sebagai salah satu obyek eksploitasi yang memiliki resiko paling ringan. Dikatakan paling ringan karena kontrol sosial yang semakin menurun, sementara pemerintah tidak berbuat banyak karena kesulitan untuk menegakkan piranti hukum. Padahal, ini bukan saja persoalan eksploitasi perempuan, namun merupakan persoalan yang lebih besar lagi yaitu tindakan pengabaian norma dan moral agama serta masyarakat. Pemberitaan media massa juga turut mengembangkan tindak kekerasan pada perempuan, ketika memberitakan kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual, seperti perkosaan, perselingkuhan, pelacuran, perdagangan wanita. Untuk memuaskan keingintahuan publik, tidak jarang media massa mengupas secara detail identitas para korban bahkan lengkap dengan alamat tempat tinggalnya, ditayangkan secara visual,
diwawancarai dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengingatkan korban terhadap peristiwa yang pernah dialaminya namun tak ingin diingatnya lagi. Tak pelak, wartawan maupun warga masyarakat yang menaruh simpati berbondong-bondong mendatangi rumah korban tanpa memperhatikan kondisi korban yang masih trauma atau tertekan dengan peristiwa yang dialaminya, maupun kondisi keluarga korban yang malu dengan aib yang menimpa anggota keluarganya. Dalam hal ini, korban akhirnya menderita tindak kekerasan ganda, yaitu dari pelaku maupun dari media massa.

Ketiga, film yang ditayangkan televisi maupun ceritera pendek dan ceritera bersambung serta kisah nyata yang dimuat di media cetak, tidak jarang menonjolkan erotisme secara vulgar. Tidak jarang film tersebut ditayangkan saat anak-anak masih belum tidur. Misalnya film-film India, film-film barat atau film komedi yang dibumbui seks seperti film-film serial Dono-Kasino yang hingga kini masih ditayangkan stasiun televisi swasta pada siang, sore atau malam hari di bawah jam 21.00. Simak pula tabloid, majalah maupun koran harian yang memuat gambar-gambar sensual, dengan mudah dapat dibeli dari penjual koran di pinggir jalan.

Keempat, rubrik konsultasi seks dan sejenisnya di media cetak dan radio serta televisi, serta acara “jelajah malam” yang mengangkat kehidupan malam Jakarta,dan ditayangkan oleh beberapa stasiun swasta . Di satu sisi, penyampaian acara ini memiliki nilai positif sebagai sumber informasi bagi masyarakat agar tidak terjebak dalam persoalan seperti itu atau sebagai referensi ketika mengalami persoalan yang sama. Namun, di sisi lain rubrik atau acara ini digemari karena banyak persoalan seks yang dapat “dinikmati” pembaca maupun pemirsa daripada dijadikan pelajaran. Banyaknya penggemar rubrik atau acara tersebut mendorong pengasuh rubrik atau acara lepas kontrol sehingga pemilihan kasus tidak selektif lagi. Persoalan akan semakin melebar karena media massa, terutama media cetak yang dapat dibaca berulang-ulang oleh berbagai kelompok umur.

Kelima, acara hiburan yang banyak menonjolkan unsur erotisme dengan penggunaan model baju yang serba terbuka dan lenggak lenggok yang terkesan “mengundang” hasrat seksual, ditemukan hampir di seluruh media televisi. Dari uraian di atas tampak bahwa melalui berbagai tayangan tindak kekerasan di media massa, dapat terbangun opini publik tentang efek “positif” dari tindak kekerasan perempuan terhadap kepuasan pemirsanya atau pembacanya. Hasil penelitian Bungin (2001) menunjukkan bahwa “ada pengaruh antara variabel media massa dan peer group terhadap sikap seks di kalangan remaja perkotaan. Media massa elektronik lebih besar pengaruhnya dari pengaruh media cetak dan peer group”. Riset yang dimuat dalam jurnal Pediatrics di Amerika menyebtkan “kekerasan dalam media (media violence) dapat mengantar anak untuk bersikap agresif dan anti sosial, walaupun di sisi lain mampu meningkatkan rasa kecemasan mereka terhadap kekerasan dan imaji aqkan menjadi korban kekerasan”. Orang tua memang dapat berperan untuk meminimalisir dampak buruk terhadap anak-naka, namun tanpa regulasi yang jelas dari pemerintah terhadap media, pada akhirnya orang tua harus menanggung dampak ini, sementara media sendiri seolah-olah tidak peduli akan dampak yang ditimbulkannya. Dengan menyiarkan tayangan-tayangan seperti sekarang ini secara terus menerus tidak salah bila dikatakan media massa turut berperan dalam melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

II.4 Pasal-Pasal RUU KUHP yang Kurang Sensitif Gender

Pasal-pasal dalam RUU KUHP yang mengatur tentang Tindak Pidana Kesusilaan memang bersifat lex generalis. Karena sifatnya itu maka RUU KUHP harus mampu melindungi berbagai kepentingan setiap warga negara. Namun , kenyataannya masih ada pasal-pasal yang kurang jelas sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang keliru dan memunculkan ketidakadilan gender, terutama ketidakadilan bagi kaum perempuan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada pasal yang menjelaskan atau mendefinisikan istilah kesusilaan atau menunjukkan indikator kesusilaan secara eksplisit . Padahal ini sangat diperlukan untuk memahami pasal-pasal berikutnya yang memuat tentang pelanggaran kesusilaan. Ini juga diperlukan untuk kepastian hukum mengingat masyarakat Indonesia masih cenderung patriarkhi yang seringkali menempatkan perempuan pada kedudukan tidak adil. Misalnya, pandangan stereotipe menganggap “perempuan bersolek adalah untuk memancing lawan jenisnya” (Faqih, 1996), sehingga bila ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual, selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada kasus perkosaan, masyarakat cenderung
menyalahkan per mpuan karena dialah yang dianggap penyebab pertama terjadinya perkos an, padahl menurut Irianto (dalam Luhulima, 2000) 90 % atau lebih korban kekerasan adalah perempuan dan 70 % di antara perempuan yang diperkosa tidak menggunakan rok mini.

2. Pasal 423 ayat (2) yang menyatakan tindak pidana perkosaan terjadi bila : (a) laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan, atau ; (b) laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. Ini mengandung arti bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak termasuk dalam kriteria ini bukanlah perkosaan. Dalam kenyataannya, perilaku seksual saat ini sudah semakin bervariasi, tanpa harus memasukkan benda atau alat kelamin ke dalam mulut atau anus perempuan pun aktivitas seksual yang identik dengan perkosaan, dapat dilakukan. Apalagi bila rumusan perkosaan ini dibandingkan dengan rumusan perkosaan di negara lain seperti yang dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary (dalam Luhulima,
2000) yaitu “ ….. unlawful sexual intercourse with a female without her consent. The unlawful carnal knowledge of a woman by a man forcibly and againts her will. The act of sexual intercourse comitted by a man with a woman not his wife and without her consent, committed when the woman’s resistance is overcome by force or fear, or under prohibitive conditions….. “

3. Pasal 433 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang menggerakkan, membawa, menempatkan atau menyerahkan laki-laki di bawah 18 tahun atau perempuan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan cabul, pelacuran atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, dipidana karena perdagangan laki-laki dan perempuan, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori V”. Selanjutnya Pasal 433 ayat (2) berbunyi “Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan menjanjikan
perempuan tersebut memperoleh pekerjaan tetapi ternyata diserahkan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan cabul, pelacuran atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, maka pembuat tidak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”. Keberatan terhadap pasal ini adalah sebagai berikut :
- Ayat ke (1) dan ke (2) tidak mempidana si pelaku bila orang yang dibawa dan diserahkannya pada orang lain itu tidak bekerja sebagai pelacur atau perbuatan melanggar kesusilaan, padahal dalam kenyataannya kasus trafficking tidak selalu diserahkan untuk pekerjaan yang melanggar kesusilaan, banyak juga yang diserahkan misalnya untuk dijadikan
pembantu rumah tangga, pelayan toko, diadopsi sebaga anak, dijual organ tubuhnya dan lain-lain.
- Ayat (2), tidak hanya terjadi pada perempuan namun juga pada laki-laki walaupun jumlah kasusnya lebih kecil daripada jumlah kasus perempuan.

4. Pasal 416, 417 dan 418 mempidana orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk mencegah kehamilan, menawarkan tanpa diminta atau menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk memperoleh alat pencegah kehamilan dan alat untuk menggugurkan kandungan, kecuali bila dilakukan dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular. Pasal ini membatasi hak perempuan untuk menjaga kesehatan reproduksinya atau menjaga kesehatan dirinya, karena alat pencegah kehamilan atau alat pengguguran kandungan bisa digunakan juga ketika perempuan mengalami penyakit yang tidak menular dan tidak bermaksud melaksanakan keluarga berencana.

5. Pasal 412 Ayat (1) mempidana setiap orang yang : (a) menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan, gambar atau benda sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang isinya melanggar kesusilaan; (b) membuat atau mempunyai persediaan tulisan, gambar atau benda dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan sehingga terlihat oleh umum atau membuat atau mempunyai rekaman dengan maksud untuk diperdengarkan sehingga terdengar oleh umum, yang isinya melanggar kesusilaan; (c) secara terang-terangan atau dengan kehendak sendiri mengedarkan, menawarkan atau menunjukkan untuk dapat memperoleh tulisan, gambar, benda atau rekaman yang isinya melanggar kesusilaan. Keberatan terhadap pasal ini menyangkut :
- Hanya disinggung rekaman yang dapat diperdengarkan (audio) dan tidak disinggung rekaman audio visual , contohnya compact disk (CD), yang saat ini dapat diperoleh dengan mudah dan murah.
- Obyek yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan hanya tulisan, gambar dan benda. Dalam kenyataannya pelanggaran kesusilaan dilakukan juga melalui pertunjukkan hiburan langsung dengan manusia sebagai obyek pertunjukkannya.
- Kecuali memperdengarkan rekaman, semua aktivitas yang dinyatakan dalam pasal ini seolah-olah hanya aktivitas yang dilaksanakan langsung di depan umum, atau dengan kata lain tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa tulisan, gambar atau benda itu dapat diperlihatkan kepada umum melalui bantuan media massa, misalnya koran, radio, televisi maupun internet Kenyataan saat ini menunjukkan pelanggaran kesusilaan yang lakukan melalui media massa sudah menjadi pemandangan biasa dan dapat diakses kapan saja di mana saja dan oleh siapa saja, hingga ke tempat-tempat terpencil sekali pun.

Kejelasan terhadap aspek-aspek tersebut diperlukan mengingat akibat dari semua ini yang sangat dirugikan terutama adalah perempuan. Agar memiliki nilai jual tinggi, biasanya stereotipe perempuan dianggap tepat untuk melakukan aktivitas tersebut, atas persetujuannya atau tanpa persetujuannya . Rekayasa untuk mengubah muka seseorang dalam gambar atau rekaman CD maupun internet, saat ini mudah dilakukan, sehingga tanpa orang tersebut melakukan pun dapat terjebak hingga dianggap sebagai pelaku.

II.5 Usulan Pemisahan

Upaya untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan secara menyeluruh berarti harus melakukan perubahan sosial karena dalam hal ini diperlukan adanya perubahan persepsi masyarakat yang masih menganut budaya patriarkhi, terhadap keberadaan perempuan. Tentunya ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Untuk itu, diperlukan beberapa upaya terobosan yang dapat menggugah perubahan persepsi masyarakat. Upaya tersebut antara lain melalui peraturan perundangan yang dapat memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan korban tindak kekerasan. Saat ini memang sudah dimiliki Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun ini tidak cukup karena masih banyak tindak kekerasan lain yang juga memerlukan perhatian khusus. Tindak kekerasan yang dimaksud adalah perkosaan, eksploitasi perempuan melalui media massa.

Disamping itu, kedua Undang-Undang inipun masih bisa mengundang munculnya permasalahan baru yang berkaitan dengan penerapannya. Oleh karena itu, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang baru dimiliki Indonesia pada beberapa bulan terakhir pun, perlu dimonitor penegakannya mengingat beberapa alasan sebagai berikut :
- Perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual mencakup wilayah yang luas dan rumit serta menyangkut pula jaringan antar propinsi, antar pulau dan antar negara . Dalam perdagangan antar negara, hingga saat ini Indonesia cenderung menjadi negara asal pengirim. Kerumitan ini disebabkan posisi perempuan yang rentan, faktor kemiskinan, dan pelaku trafficking adalah orang-orang terdekat korban, seperti : paman, bibi, tetangga, lurah, bahkan suami atau pacar. Di beberapa daerah, aparat pemerintah daerah serta aparat keamanan turut sebagai pendukung pelaku trafficking.
- Sebuah laporan pemerintah Amerika menyebutkan bahwa Indonesia sempat menduduki peringkat Tier 3. Negara yang menempati peringkat ini dianggap kurang melakukan tindakan-tindakan serius untuk melawan perdagangan manusia, padahal korban sudah berjatuhan di mana-mana. Korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak.
- Kasus trafficking berbeda dengan kasus-kasus lainnya. Banyak orang mengira setelah korban diselamatkan dari pelaku trafficking masalah sudah selesai. Padahal justru saat itulah awal permasalahan baru bermunculan. Proses alienasi yang mereka alami selama penyekapan sama saja dengan proses dehumanisasi yang membuat mereka merasa bukan manusia lagi karena ada yang harus dimatikan dalam dirinya demi bertahan hidup secara fisik. Dampak psikologis yang dialami adalah proses “penghancuran diri” atau disempowerment. Oleh karena itulah rata-rata mereka mengalami trauma yang mendalam dan dendam pada orang-orang yang telah menjualnya. Belum lagi yang mengalami kerusakan fisik akibat penganiayaan atau kerusakan fungsi reproduksi serta Penyakit Menular Seksual (PMS). Di sisi lain, masyarakat juga masih menganggap korban sebagai pelaku tindak pelanggar moral. Sama halnya dengan perkosaan, dampak trafficking juga akan menjadi beban korban selama hidupnya.
- Upaya pemulihan dan pemberdayaan menjadi masalah pelik karena sangat sedikit institusi yang memahami hal ini dan referensi yang tersedia amat sedikit Tindak kekerasan yang dimaksud adalah perkosaan, eksploitasi perempuan melalui media massa.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, diusulkan beberapa usulan pemecahan sbagai berikut:

Pertama, melengkapi atau menambah kejelasan pasal-pasal yang kurang sensitif gender, yaitu :
- Perlu disusun definisi atau batasan atau indikator tentang kesusilaan serta tindak pidana kesusilaan.
- Pasal 423 ayat (2) perlu diperjelas karena bisa menimbulkan kontroversi; pasal 433 ayat (1) dan (2) perlu dilengkapi; Pasal 416,417 dan 418 perlu diperjelas, dan Pasal 412 ayat (1) perlu dilengkapi

Kedua, usulan untuk membuat Undang-Undang Anti Perkosaan dan Undang-Undang Undang Penghapusan Eksploitasi Perempuan Melalui Media Massa. Alasan diusulkan tiga permasalahan ini didasarkan pada cakupan wilayah, jumlah korban serta keluasan dan kedalaman dampak yang ditimbulkan oleh masalah itu.

Undang-Undang Anti Perkosaan perlu dibuat secara khusus mengingat jumlah dan variasi pelaku maupun korbannya sudah semakin berkembang. Trauma akibat perkosaan akan selalu membayangi korban sepanjang hidupnya. Saat diperkosa korban sudah mendapat tekanan secara fisik maupun psikologis. Ketika menghadapi pemeriksaan polisi yang kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat melecehkan, pemeriksaan jaksa dan saat menghadapi hakim di pengadilan, tekanan ini terus membuntuti . Ditambah lagi dengan kedatangan wartawan yang ingin mengorek kejadian perkosaan dengan melontarkan pertanyaan bertubi-tubi, pemberitaan di media massa yang kerap amat vulgar serta menonjolkan aspek seksualnya , dirasakan korban sebagai “perkosaan kedua” karena mereka dipaksa untuk mengingat kejadian yang ingin mereka lupakan. Belum lagi bila korban dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kehamilan, tentunya merupakan persoalan tersendiri yang memerlukan dampingan khusus. Masalah lainnya lagi adalah tentang kemampuan korban untuk menghadapi kehidupan di masa datang.
Tekanan lain yang tak kalah penting adalah tekanan sosial. Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat seringkali menyalahkan korban perkosaan dan menganggap perempuan itu sendiri sebenarnya yang menyebabkan dirinya diperkosa. Kondisi ini diperparah dengan sistem hukum yang belum mampu memberi perlindungan terhadap korban. Misalnya, dalam KUHAP korban tidak disebutkan haknya untuk memperoleh pendampingan, hak untuk memperoleh kompensasi karena kemungkinan korban menjadi hamil dan terganggu kehidupan masa depannya.

Undang-Undang Penghapusan Eksploitasi Perempuan Melalui Media Massa. Perlunya Undang- undang ini dibuat mengingat perempuan sangat rentan menjadi obyek eksploitasi media massa. Alasan- alasan yang mendasarinya adalah sebagai berikut :
- Undang-Undang Penyiaran yang sudah ada saat ini masih bersifat umum dan masih belum bisa diterapkan secara optimal. Contohnya, dalam Pasal 36 ayat (6) secara eksplisit dinyatakan bahwa “isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan Internasional”. Namun kenyataannya perempuan kerap menjadi obyek eksploitasi media massa. Kecenderungan media massa memasukkan unsur erotisme dalam pemberitaannya, menurut Bungin (2003) berdasarkan alasan sebagai berikut : (1) ketika media telah kehilangan idealisme, (2) ketika media merasa tirasnya terancam menurun, (3) ketika media massa perlu bersaing dengan sesama media, (4) ketika media baru sedang memposisikan dirinya di masyarakat, (5) ketika masyarakat membutuhkan pemberitaan erotisme.Selama kepentingan ini masih ada dan persepsi tentang stereotipe perempuan dalam iklim budaya patriarkhi masih mengakar, eksploitasi terhadap perempuan melalui media massa akan tetap berlangsung.
- Media massa memiliki dua sisi yang berlawanan, yaitu sebagai alat strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak kekerasan pada perempuan, sekaligus juga menjadi alat strategis untuk mengembangkan bahkan melestarikan tindak kekerasan pada perempuan. Ini dikarenakan media massa memiliki hegemoni untuk membangun opini publik sehingga apapun yang disampaikan media massa dianggap sebagai kebenaran. Secara eksplisit kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi seperti tertera pada Pasal 4 Undang-Undang Penyiaran, yaitu “ sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Sementara itu, media massa juga bisa dinikmati oleh semua usia, apalagi media cetak yang bisa dibaca berulangkali dan bisa diakses oleh masyarakat di daerah terpencil sekali pun. Tak pelak lagi media massa mampu menjadi alat transformasi budaya yang ampuh untuk melestarikan tindak kekerasan pada perempuan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar